Mengenang Aceng Fikri dan Vina, Duta Viral Swiss Van Java

Hari itu di tahun 2012, saya diajak jalan-jalan oleh suami ke bantaran sungai. Di sana kita memancing ikan. Sungainya jernih dan tenang. Di pinggir sungai terdapat papan peringatan yang menyatakan bahwa siapapun dilarang menangkap ikan dengan cara apapun kecuali dengan pancingan. Dan sepanjang yang saya amati, semua orang sepertinya taat akan aturan. Dari ujung utara hingga ke selatan, para pemburu ikan hanya menggunakan pancingan, tidak satupun yang menggunakan jaring. Mereka pun terlihat begitu menghargai sungai. Misal saat membuang cangkang rokok, mereka tidak serta merta membuangnya ke sungai yang ada di depan mata, tapi menaruhnya di tempat sampah yang telah disediakan. Melihat pemandangan itu saya pun terpukau, wah hebat ya Jogja! Pantas sungai-sungai di sini bersih.

Hari itu adalah kali pertama menyusuri sungai semenjak kepindahan saya  ke Jogja. Saya dari tatar Sunda, Garut. Sebagai bukti pengabdian, saya ikhlas ikut suami ke daerah istimewa itu. Dari tempat saya duduk, kulihat beberapa pemancing menaikkan joran. Ya, mereka mendapatkannya. Entah ikan apa, saya pun tidak mengerti. Saya terdiam dalam keasyikan melihat drama gelak tawa para pemancing. Rupanya mereka menertawakan seorang pemancing yang terpeleset jatuh ke pinggir sungai saat mengejar ikan yang loncat-loncat terlepas dari pegangan. Karena gelak tawa mereka membahana, saya pun ikut tersenyum menyaksikan drama konyol tersebut. Ternyata akal manusia terkadang tak berguna apabila ambisi sudah tak terkendali. Lihatlah pemancing itu, dia begitu ambisius mengejar ikan yang tak seberapa besar, sampai-sampai celana dan sepatunya basah. Padahal untuk ikan semacam itu kita bisa membelinya di pasar dengan harga murah tanpa harus berbasah-basah. Tapi kenapa pemancing itu mau-maunya bertindak konyol untuk hal yang tak seberapa? Untuk konsumsi? Bukan. Itu hanya pembuktian. Dia ingin membuktikan bahwa dia pemenangnya. Sebab memancing di sungai berbeda cerita dengan di kolam. Sungai adalah teka-teki. Dalamnya tak terukur, banyak ikannya tak tertebak. Siapa yang bejo, dia juara. Biarpun yang didapat hanya ikan sebesar tiga jari tapi titel juara terkadang membuatnya tepuk dada: bahwa aku yang pertama, aku yang paling bisa! 

Bagi saya, drama konyol pemancing yang berbasah-basah tadi adalah analogi hidup. Terkadang orang rela mengorbankan sesuatu yang sebenarnya tak perlu dikorbankan hanya demi terlihat jadi yang paling unggul di lingkungannya. Miris!

Sedang aku masih terfokus pada para pemancing yang berjarak enam sampai 7 langkah di depan mata tiba-tiba lelaki paruh baya menghampiriku. "Ikut mancing, mbak?" Tanyanya.

"Iya, ikut suami." Jawabku dengan tersenyum.

"Gak pernah lihat sebelumnya, baru pertama ya mancing di sini?"

"Saya baru pindah dari Jawa Barat. Baru pertama ke sini." Terangku.

"O..Jabar. Jabarnya mana?" 

"Garut."

"Garut? Aceng Fikri ya?" 

Upsssss!!! Seketika ada rasa malu yang menyergap saat mendengar perkataan orang tersebut. Saat itu saya tak bisa berkata apa-apa lagi, kecuali membalasnya dengan senyuman hambar.

November 2013, saya masuk rumah sakit umum daerah Jogjakarta untuk melahirkan anak pertama. Tidaklah usah diceritakan bagaimana proses melahirkannya, yang pasti saya telah kembali ke bangsal dalam keadaan sehat. Di sana, saya bertemu banyak orang termasuk para suami yang menemani para istrinya yang habis bersalin. Kami saling berkenalan dan bercerita.

"Mbak dari mana?" Tanya seorang pria yang diketahui mengantar istrinya yang hendak operasi caesar. "Saya dari Kotagede, tapi aslinya dari Garut." 

"Wah, Garut kan kota  dodol. Aceng Fikri juga ya hehe.." Orang itu tertawa, roman wajahnya pun seperti mengejek. Lalu, apa kabar dengan perasaan saya waktu itu? Seperti biasa, saya hanya tersenyum dan kembali digerayangi rasa malu.

Suatu hari, adik ipar saya membawa temannya ke rumah. Mereka terlihat menonton tivi. Entah acara apa yang mereka tonton, tapi tiba-tiba saja obrolannya mengarah pada poligami Aceng Fikri tampil mentereng sebagai salah satu pemenang, dia menjadi anggota DPD utusan Jawa Barat dengan suara terbanyak ke tiga. Sungguh hasil yang memuaskan mengingat beberapa waktu lalu rakyat pernah menaruh anti pati padanya. Selepas sekandal rumah tangganya bersama perempuan berusia belasan tahun yang menggebrak khalayak hingga membuatnya kehilangan jabatan sebagai bupati Garut, rupanya dia masih bisa menunjukan tajinya di mata masyarakatnya. Buktinya, dia mendapat banyak suara dari pemilihan dewan tersebut. Inikah yang disebut konsep tabur tuai, siapa banyak menabur berita hingga viral, dia yang bakal menuai banyak dukungan?

Tahun-tahun berganti, drama Aceng Fikri mulai pergi. Orang-orang di kampung perantauan tak lagi membincangkannya. Ketika seseorang bertanya dari mana asal saya dan saya jawab dari Garut, orang tak lagi menautkannya dengan Aceng Fikri. Mereka tak lagi ingat nama itu. Ketika  saya sebut nama Garut mereka langsung nyeletuk, "kota dodol." Dan saya selalu merasa bangga.

Saat jalan-jalan ke Gembira Loka Zoo, saya mendapati banyak penjual dodol Garut. Tidak hanya satu dua kios, tapi hampir di setiap kios makanan di area wisata itu dodol Garut ada. Ternyata tidak hanya dodol Betawi, dodol Garut pun cukup punya nama. Jika suatu makanan khas sudah disebut-sebut orang di luar daerah asalnya itu artinya performanya luar biasa.

Pada satu obrolan santai di teras rumah saudara, tiba-tiba datang tetangga samping rumah dengan kolor dan kaos oblong sebagaimana yang menjadi ciri khasnya. "Wah, lagi pada ngumpul ni?" Tanyanya seraya memasuki area teras. Sebentar kami berbasa-basi padanya. Sampailah dia pada satu pertanyaan, "Mbak ini dari Garut ya kalau gak salah?"

Saya pun mengangguk, tanda mengiyakan. Orang tadi lalu melanjutkan omongannya, "Garut kan punya Vina. Aktris hebat dia, tapi untuk film tertentu saja haha..!" 

Duarrr...serasa ditampar petir hati saya mendengar ocehan si tetangga. Lagi dan lagi, setelah Aceng Fikri yang viral luar biasa, kini  seseorang kembali membahanakan nama Garut dimana-mana hingga menjadi bahan ejekan. Saya, yang lahir dan besar di Garut kali itu benar-benar malu menyebutkan nama kota sendiri. Manisnya dodol yang selama ini memoles keelokan tanah Garut hingga indah namanya, berkali-kali tercoreng oleh kasus-kasus viral memalukan.

2021, Vina dan Aceng Fikri bukan lagi selebriti dadakan yang namanya bergaung dimana-mana. Pamornya meredup oleh waktu. Di tahun ini, orang sudah lupa akan nama mereka. Garut telah kembali pada marwahnya sebagai kota indah yang manis semanis dodol dengan alam yang rupawan.

Bagi saya, Vina dan Aceng Fikri hanyalah wayang-wayang malang yang kebetulan viral, sebab kasus-kasus semacam itu sejatinya tidak hanya terjadi pada keduanya tapi mungkin saja terjadi pada orang lain di luar Garut, hanya saja mungkin kasusnya tidak ter-up ke khalayak. Jadi, jangan pernah berpikiran jelek tentang suatu daerah hanya karena satu dua kesalahan penghuninya. Garut bukan Aceng Fikri, bukan pula Vina, tapi Garut adalah Swiss Van Java. Sedang Aceng Fikri dan Vina hanyalah bagian dari manusia yang mencintai "lemah cai"-nya diluar dari apapun kasus yang pernah menerpanya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seblak, Kuliner Parahyangan Yang Makin Tenar

Bika Talubi Inovasi Trendi Dari Ragam Kuliner Bogor Yang Super Lembut